Sekilas Sejarah Lebak

SEKILAS SEJARAH KABUPATEN LEBAK

Sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak dengan luas Wilayah 304.472 Ha, sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten.
Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828, terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :

1.Pembagian Wilayah Kesultanan Banten
Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :
- Wilayah Banten Lor
- Wilayah Banten Kulon
- Wilayah Banten Tengah
- Wilayah Banten Kidul
Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.

2. Pembagian Wilayah Keresidenan Banten
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu :
- Kabupaten Serang
- Kabupaten Caringin
- Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :
a. District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
b. District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
c. District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict Madhoor (Madur).

3. Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak
Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851.

4. Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828, diubah menjadi :
- District Rangkasbitung, meliputi Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.
- District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.
- District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.
- District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.
- District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.

5. Tanggal 14 Agustus 1925
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.

6. Tanggal 8 Agustus 1950
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan rangkaian sejarah tersebut kami berpendapat bahwa titi mangs tepat untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Lebak adalah tanggal 2 Desember 1828, dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut :
a. Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.
Sebelum adanya Staatsblad nomor 81 tahun 1828, selain nama Lebak belum pernah diabadikan batas wilayah untuk Kabupaten yang ada di wilayah Banten karena belum adanya kejelasan yang dapat dijadikan dasar penetapan.

b. Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828, tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lebak beserta seluruh aparat serta dukungan seluruh masyarakat Kabupaten Lebak melalui wakil-wakilnya di DPRD, telah berhasil menentukan Hari Jadi Kabupaten Lebak dengan lahirnya Keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-II/SK/X/1986, yang memutuskan untuk menerima dan menyetujui bahwa Hari Jadi Kabupaten Lebak jatuh pada tanggal 2 Desember 1828 beserta rancangan peraturan daerahnya.

Sumber:
http://www.lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6



LEBAK PADA MASA ISLAM DAN KESULTANAN BANTEN

A. Politik
1. Mitos Pasca Kerajaan Sunda
Setelah Kerajaan Tarumanagara runtuh sekitar abad ke-8, di sebelah barat Sungai Citarum berdiri pusat kekuasaan baru yang bernama Kerajaan Sunda. Akan tetapi, sampai saat ini belum diketahui secara pasti siapa nama rajanya. Prasasti Rakyan Juru Pangambat pun, yang berangka tahun 854 Saka (932 Masehi) dan berbahasa Melayu, tidak menyebutkan nama Raja Sunda, tetapi menyebutkan “… ba [r] pulihkan haji Sunda…” (memulihkan raja Sunda). Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum prasasti itu dibuat sangat dimungkinkan di daerah ini telah ada Kerajaan Sunda menggantikan Kerajaan Tarumanagara.
Sementara itu, pada waktu yang bersamaan di sebelah timur Tatar Sunda berdiri pula pusat kekuasaan di Galuh di bawah kekuasaan Rahyang Sanjaya. Oleh Rahyang Sanjaya, kedua kerajaan ini disatukan menjadi Kerajaan Sunda, karena ia menjadi menantu Raja di Sunda.
Pada masa Kerajaan Sunda ini, Banten merupakan salah satu daerah kekuasaan Raja Sunda yang terletak di sebelah barat pusat kekuasaannya. Bagi Kerajaan Sunda, Banten merupakan salah satu daerah yang dianggap penting terutama untuk kepentingan perdagangan. Kedudukan Banten sebagai salah satu pusat perdagangan Kerajaan Sunda dapat diketahui dari berita Tome Pires yang mengatakan bahwa Banten (bersama-sama dengan Kalapa) merupakan pelabuhan milik Kerajaan Sunda yang paling pesat perkembangannya. Antara Pakuan Pajajaran dan Banten dihubungkan dengan jalan darat melalui Jasinga – Rangkasbitung – Serang – Pelabuhan Banten.
Kerajaan Sunda dikalahkan oleh Maulana Yusuf tahun 1579 dan para pengikut setianya melarikan diri ke pedalaman di wilayah Banten Selatan, tepatnya di wilayah yang sekarang masuk ke dalam Kabupaten Lebak. Proses kehancuran Kerajaan Sunda berkaitan erat dengan penyebaran Islam di daerah Banten yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanudin. Dalam tradisi Banten, peran Sunan Gunung Jati lebih menonjol dalam penyebaran agama Islam. Sementara itu, Maulana Hasanudin selain penyebar Islam di Banten juga dipandang sebagai pendiri Kesultanan Banten.
Menurut cerita tradisi, suatu ketika, Kibuyut ‘Afil diperintahkan oleh Syarif Hidayatullah untuk mendirikan sebuah kampung di daerah Banten sebagai tempat tinggalnya kelak. Untuk melaksanakan perintah tersebut, Kibuyut ‘Afil pergi ke Banten atas bimbingan gaib Syarif Hidayatullah. Setibanya di di Banten, Kibuyut ‘Afil menemukan sebuah tongkat yang dilempar Syarif Hidayatullah dari Cirebon di sebuah tempat yang sekarang bernama Kecirebonan dan di tempat itulah Kibuyut ‘Afil mendirikan tempat tinggal untuk Syarif Hidayatullah. Ketika Syarif Hidayatullah tiba di Banten untuk mengislamkan daerah ini, ia tinggal dikampung yang yang telah didirikan oleh Kibuyut ‘Afil. Setelah memandang anaknya, Maulana Hasanudin, cukup ilmu untuk menyebarkan agama Islam, Syarif Hidayatullah meninggalkan Banten dan kembali Cirebon. Sementara itu, kampung sebagai tempat tinggal Syarif Hidayatullah terus dijaga oleh Kibuyut ‘Afil sampai ia meninggal dunia. Oleh karena itu, sampai sekarang kampung itu dinamai kampung Kacirebonan.
Ketika Maulana Hasanudin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun terciptalah sebuah mitos yang oleh masyarakat Lebak dikenal dengan nama tubuy yakni cerita pantun yang dituturkan secara lisan. Isi cerita ini mengacu kepada nama tempat yang sangat dikeramatkan di Banten Selatan dan dipergunakan untuk memperingati peristiwa kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin.
Menurut cerita ini, Prabu Pucuk Umun merupakan wakil Raja Sunda untuk daerah Banten dan leluhur para puun suku Baduy.
Menurut tubuy, Maulana Hasanudin adalah putra sulung Sunan Gunung Jati yang datang ke Banten untuk mengislamkan wilayah barat Kerajaan Sunda. Dalam melaksanakan tugasnya itu,
Maulana Hasanudin disertai oleh dua orang pembantunya yang bernama Agus Jo dan Mas Lei. Upaya mengislamkan Prabu Pucuk Umun tidak dapat dilakukan oleh Maulana Hasanudin secara langsung melainkan harus melalui pertarungan diantara keduanya. Adu kesaktian ini dilakukan karena Prabu Pucuk Umun hanya bersedia memeluk Islam kalau kesaktiannya dikalahkan oleh kesaktian Maulana Hasanudin.
Jenis pertandingan yang disepakati oleh kedua orang yang sama-sama sakti ini adalah mengadu ayam. Ayam Pucuk Umun diciptakan dari besi baja, berpamor air raksa, berinti besi berani, dan diberi nama Jalak Rarawe. Sedangkan ayam Maulana Hasanudin merupakan penjelmaan jin. Ayam putih ini berasal dari serbannya yang dihentakkan sekali dan diberi nama Jalak Putih. Kedua jenis ayam ini mencerminkan sifat masing-masing pemiliknya. Jalak Rarawe merupakan ayam yang terlihat sangat garang sebagai cerminan bahwa Prabu Pucuk Umun memiliki sifat dendam kesumat. Sementara itu, Jalak Putih kelihatan tenang dan sabar yang mencerminkan keluhuran budi pekerti yang dimiliki oleh Maulana Hasanudin. Dalam pertandingan itu, Jalak Rarewe dapat dikalahkan oleh Jalak Putih dan bertepatan dengan kekalahan itu, si Jalak Putih kembali kepada wujud aslinya. Melihat kejadian itu, Prabu Pucuk Umun sangat kaget dan berseru “Ketahuilah Hasanudin bahwa kekalahanku kali ini hanya merupakan sebagian terkecil dari seluruh kesaktianku dan aku belum menyerah kalah, apabila kau sanggup susullah aku”.
Dengan kekalahan itu, seharusnya Prabu Pucuk Umun takluk kepada Maulana Hasanudin dan memeluk Islam. Akan tetapi, perjanjian dengan Maulana Hasanudin dilanggar oleh Pucuk Umun. Ia tidak mau memeluk agama Islam dan memilih untuk memusnahkan dirinya dengan berubah menjadi burung beo.
Burung beo jelmaan Pucuk Umun itu kemudian terbang meninggalkan Maulana Hasanudin agar ia tidak ditangkap oleh Maulana Hasanudin. Ketika sedang terbang mengembara, Pucuk Umum melihat hamparan pasir sehingga merasa tertarik untuk turun kembali ke bumi. Ketika telah mendarat di bumi, burung beo itu menjelma kembali menjadi Prabu Pucuk Umun. Setelah dirinya menjadi manusia lagi, Pucuk Umun menemukan sisa-sisa rakyatnya yang tidak mau masuk Islam dan mendirikan perkampungan baru di daerah Banten Selatan, tepatnya di daerah Lebak. Berdasarkan cerita ini, sebagian masyarakat Lebak menamakan tempat Pucuk Umun menjadi burung beo sebagai Cibeo, tempat burung beo melihat hamparan pasir dan berubah kembali menjadi Pucuk Umun sebagai Cikeusik, dan tempat Pucuk Umun mendirikan perkampungan baru dinamai sebagai Cikertawana.
Mitos tentang kekalahan Pucuk Umun ketika beradu kesaktian dengan Maulana Hasanudin memang tidak ditemukan di setiap tradisi lisan atau cerita rakyat. Dalam suntingan Sajarah Banten yang lain, diceritakan bahwa Pucuk Umun itu tidak pernah bertanding untuk mengadu kesaktian dengan Maulana Hasanudin. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Pucuk Umum telah memperkirakan bahwa dirinya sebagai penguasa Pakuan Pajajaran yang berkuasa di Banten Girang akan digantikan oleh Maulana Hasanudin. Oleh karena itu, ia kemudian memusnahkan dirinya karena tidak mau tunduk kepada Maulana
Hasanudin, seperti yang dinyatakan dalam Sadjarah Banten.
Ada juga yang meneritakan bahwa ketika ayam Pucuk Umun kalah oleh ayam Maulana Hasanudin, Pucuk Umun menguji kesaktian Maulana Hasanudin dengan cara bersembunyi dan meminta Maulana Hasanudin untuk menemukan tempat persembunyiannya itu. Tantangan itu diterima oleh Maulana Hasanudin dan segera memerintahkan kedua jin santrinya untuk mengejar dan menangkap Pucuk Umun. Setelah mengejarnya, kedua jin santri Maulana Hasanudin berkata kepada majikannya “Maaf Tuan, Pucuk Umun menghilang”. Kemudian berkata Maulana Hasanudin, “Yah sudahlah santri jin, barangkali sudah kehendak Tuhan Yang Agung, mungkin sudah kehendak-Nya kalau Pucuk Umun menjadi iblis atau kafir siluman selama-lamanya”.
Dalam salah satu cerita rakyat, Pucuk Umun menghilang di Tubuy dan masuk ke dalam bumi sampai tidak pernah kelihatan lagi.
Suntingan Sajarah Banten lainnya yang digubah dalam bentuk prosa menceritakan bahwa Pucuk Umun telah mengetahui maksud kedatangan Maulana Hasanudin yaitu untuk mengislamkan daerah Banten dan menggantikan kedudukan dirinya sebagai Raja Pakuan yang berkuasa atas wilayah Banten Girang. Oleh karena itu, sebelum Maulana Hasanudin menginjakkan kakinya di tanah Banten, ia memusnahkan dirinya karena tidak mau memeluk Islam dan menjadi bawahan Maulana Hasanudin. Selain itu, diceritakan pula bahwa adu ayam yang dilakukan oleh Maulana Hasanudin bukan untuk mengalahkan Pucuk Umun, tetapi untuk memancing agar penduduk dari daerah lain lebih banyak lagi yang datang ke Banten.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi masyarakat Banten, peranan Sunan Gunung Jati dalam proses berdirinya Kesultanan Banten kurang begitu menonjol. Hal ini bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa masyarakat Banten selalu merujuk kepada Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan Banten. Hal yang sebaliknya terjadi di Cirebon bahwa baik Kesultanan Banten maupun Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa di Cirebon hubungan antara kedua kesultanan ini begitu harmonis. Akan tetapi, ketika Sunan Gunung Jati telah meninggal dunia, hubungan tersebut menjadi kurang begitu harmonis. Selain itu, Kesultanan Banten
justru semakin berkembang dan menjelma menjadi sebuah pusat kekuasaan Islam di Pulau Jawa bagian barat. Sementara Kesultanan Cirebon secara perlahan-lahan mengalami kemunduran karena tidak mampu menghadapi kekuatan-kekuatan kerajaan yang ada di sekitarnya, yakni Banten dan VOC di sebelah barat, serta Mataram di sebelah timur. Dalam tradisi Cirebon, perkembangan itu sendiri telah diperkirakan karena simbol kekuasaan yang tadinya ada di Cirebon telah berpindah ke Banten. Cerita tentang pindahnya simbol kekuasaan Cirebon ke Banten diawali oleh keputusan para wali untuk menghukum mati Syeh Lemah Abang karena memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan para wali lainnya. Paham yang dimiliki oleh Syeh Lemah Abang itu sangat berbahaya kalau diajarkan kepada kaum muslimin yang awam. Dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus menusuk tubuh Syeh Lemah Abang sampai meninggal dunia. Seketika, tubuhnya menghilang dan seiring dengan itu keluarlah suara gaib yang meramalkan masa depan Cirebon. Suara gaib itu berkata, “Bahwa Cirebon akan menjadi negara merdeka sampai anak-cucu, tetapi nanti jika telah dating kerbau putih, anak-cucu harus tahu sendiri”. Sunan Gunung Jati pun membenarkan ramalan suara gaib itu dan hal itu akan terjadi pada generasi kesembilan keturunannya.
Setelah Sunan Gunung Jati meninggal dunia, kekuasaan atas Cirebon diserahkan kepada Panembahan Ratu. Pada masa itu, Mesjid Agung Cirebon terbakar dan bagian atas masjid itu (momolo) meloncat menuju Banten. Sejak saat itu berdirilah Kesultanan Banten yang mengalami perkembangan begitu pesat. Sebaliknya dengan Cirebon, sejak peristiwa itu mengalami kemunduran yang ditandai dengan takluknya Panembahan Ratu atas Sultan Mataram. Selain takluk kepada Sultan Mataram, ia pun kemudian menjadi bayangan penguasa Banten.
Sejak saat itulah, di daerah paling barat Pulau Jawa berdiri Kesultanan Banten yang mengalami kemajuan pesat dan kekuasaannya meliputi sebagian Pulau Sumatera. Kejayaan Kesultanan Banten tidak bisa dikalahkan baik oleh VOC maupun oleh Mataram. Hanya karena terjadi konflik intern, kedaulatan Kesultanan Banten sedikit demi sedikit berkurang dan mengalami kehancuran memasuki abad ke-19.

2. Kesultanan Banten
Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis berdirinya Kesultanan Banten terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan Banten sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai pelopornya. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten. Kekuatan kedua yang melahirkan Kesultanan Banten adalah para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh fakta bahwa sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong-kantong permukiman orang-orang muslim.
Dalam tradisi Banten, Kesultanan Banten didirikan oleh Maulana Hasanudin tahun 1552 bertepatan dengan penobatannya sebagai penguasa Banten oleh Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1570, Maulana Hasanuddin wafat digantikan oleh Maulana Yusuf, yang memerintah Banten dari tahun 1570-1580. Pada masa pemerintahannya, Pakuan Pajajaran dapat ditaklukan sehingga berdirilah Kesultanan Banten di atas bekas wilayah Kerajaan Sunda dengan batas Sungai Citarum dari muara sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur sekarang).
Sepeninggal Maulana Yusuf, Maulana Muhammad Nasrudin dinobatkan sebagai penguasa Banten di bawah bimbingan seorang kadi (hakim agung). Untuk urusan pemerintahan ditangani oleh Mangkubumi.15 Maulana Muhammad berkehendak menguasai Palembang untuk mengembangkan perniagaan Kesultanan Banten. Akan tetapi, penguasa Banten itu tewas dalam peperangan dengan Palembang sehingga politik ekspansinya menemui kegagalan. Penguasa Banten ini kemudian dikenal sebagai Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.
Pada bulan Januari 1624, Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) yang sebelumnya berada di bawah bimbingan seorang wali. Setelah memegang tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat menjadi perhatian utama Sultan Banten ini. Pada tahun 1636, penguasa Arab di Mekkah memberikan gelar “sultan” kepada dirinya sehingga dialah penguasa Banten pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Abdul Mufakhir menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten.17 Sikap tegas inilah yang kemudian menjadi sumber konflik berkepanjangan antara Banten dan VOC.
Pada tanggal 10 Maret 1651 Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya menggantikan kakeknya sebagai Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684). 18 Di bawah kepemimpinannya, Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya dan eksistensinya diakui baik oleh Mataram maupun VOC yang berkedudukan di Batavia. Akan tetapi, kejayaan Banten lambat laun menghilang seiring dengan terjadinya konflik intern antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Sultan Haji merupakan anak pertama Sultan Ageng Tirtayasa yang berhasil dihasut oleh VOC sehingga mengkhianati perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa menghadapi dua musuh sekaligus yakni Sultan Haji dan VOC. Konflik intern itu berakhir seiring dengan penangkapan Sultan Ageng Tirtayasa tanggal 14 Maret 1683 di Istana Surosowan oleh Sultan Haji dan VOC.
Selama Sultan Haji menduduki tahta Kesultanan Banten, di daerah ini banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687. Gubernur Jenderal VOC van Imhoff mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya yang berkuasa hanya selama tiga tahun.
Oleh karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. Ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733. Oleh karena putra tertuanya sudah meninggal, sejak tahun 1733 tahta Kesultanan Banten dilanjutkan oleh putra keduanya yang bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733-1747). Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773) yang didahului oleh berbagai perlawanan rakyat, di antaranya Perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa.
Berbagai perlawanan rakyat terus menerus terjadi di wilayah Banten sehingga pada tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten dan bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin dan Serang.

B. Sosial Budaya
1. Masuknya Islam
Sampai saat ini, sumber sejarah yang menginformasikan proses penyebaran agama Islam di Kabupaten Lebak sangatlah sedikit. Namun demikian, patut diduga bahwa masa awal penyebaran agama Islam di Kabupaten Lebak terkait erat dengan upaya Maulana Yusuf melebarkan kekuasaan Banten ke daerah pedalaman. Cerita tentang masyarakat Baduy dan kaolotan merupakan salah satu petunjuk tentang masuknya Islam ke daerah Kabupaten Lebak. Dalam Babad Banten diceritakan bahwa setelah berhasil mengalahkan penguasa Banten Girang dan mengislamkan penduduknya, Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin melanjutkan penyebaran Islam ke Gunung Pulosari. Tempat ini berada di sebelah selatan Banten Girang tempat persemayaman 800 ajar. Seluruh ajar yang didatangi oleh Sunan Gunung Jati dan Hasanudin dapat diislamkan bahkan semuanya menjadi pengikut Hasanuddin ketika Kesultanan Banten berdiri.
Dalam menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan dalam sumber local bahwa dalam acara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak pembesar negeri, dua orang ponggawa Pajajaran, yakni Mas Jong dan Agus Jo, yang disebut juga Ki Jongjo, menyatakan diri memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.
Ketika Maulana Yusuf berkuasa atas tahta Banten, ia melanjutkan penyebaran agama Islam ke daerah pedalaman dengan berupaya menaklukan pusat kekuasaan Kerajaan Sunda. Usaha itu berhasil dilakukan oleh Maulana Yusuf yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran pada 1579. Para pembesar atau pengikut setia Raja Sunda yang tidak mau memeluk Islam melarikan diri ke pedalaman Banten Selatan. Dalam kondisi seperti inilah, diduga agama Islam masuk dan menyebar ke Banten Selatan (Kabupaten Lebak).
Konon diceritakan bahwa untuk menyebarkan agama Islam ke Banten Selatan, Sultan Banten berencana hendak mendirikan masjid agung kesultanan di daerah yang sekarang bernama Susukan, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak.
Rencana Sultan Banten itu tidak terlaksana dengan baik karena penduduk setempat tidak secara penuh membantunya. Meskipun demikian, untuk keperluan penyebaran Islam, Sultan Banten tetap membangun sebuah mesjid yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Susukan, karena memang letaknya tidak terlalu jauh dari susukan (sungai). Selain itu, Sultan Banten pun mengeluarkan ancaman kepada penduduk setempat bahwa barangsiapa menentang Islam, ia akan gila seperti anjing edan.
Dengan berdirinya Masjid Susukan ini, diduga agama Islam menyebar dari daerah ini ke berbagai penjuru Kabupaten Lebak.

2. Stratifikasi Sosial
Berdasarkan status sosialnya, masyarakat Lebak mengenal beberapa pelapisan sosial dalam kehidupan mereka. Pertama, masyarakat yang memiliki hubungan darah dengan Kesultanan Banten. Kelompok masyarakat ini dipandang sebagai kelompok bangsawan kelas tinggi. Masyarakat yang masuk ke dalam golongan ini biasanya bergelar tubagus (untuk laki-laki) atau ratu (untuk perempuan). Gelar tubagus dan ratu mulai dipakai sejak masa pemerintahan Maulana Yusuf. Akan tetapi, ketika itu sebutannya agak berbeda yakni ratu bagus untuk keturunan sultan berkelamin laki-laki dan ratu untuk keturunan sultan berkelamin perempuan. Gelar kebangsawanan ini dianugrahkan kepada keturunan sultan semenjak si bayi dilahirkan. Setelah melalui proses sejarah yang cukup panjang, sebutan ratu bagus berubah menjadi tubagus dan gelar ini merupakan ciri khas golongan bangsawan Banten sebagai keturunan langsung sultan.
Keturunan dari Kasunyatan, Kanari, Labuan, Cimanuk (termasuk daerah Muruy dan Menes), dan Tirtayasa merupakan masyarakat yang berhak menyandang gelar tubagus dan ratu.
Selain yang bergelar tubagus dan ratu, ada juga bangsawan yang bergelar raden. Berdasarkan keterangan salah seorang tokoh perempuan Lebak, gelar kebangsawan ini diturunkan dari kaum bangsawan yang berasal dari Priangan.
Gelar kebangsawanan ini ada disandang secara turun temurun, namun ada juga yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gelar kebangsawanan yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda biasanya bernama Sastrawiguna atau Sastranegara.
Selain itu, gelar raden pun merupakan ciri sekelompok masyarakat yang memiliki hubungan darah dengan penguasa Raja Sunda. Gelar kebangsawanan ini dianugrahkan oleh Sultan Banten kepada keturunan Raja Sunda yang mengabdikan dirinya kepada penguasa Banten. Dalam salah satu sumber diceritakan bahwa salah seorang putra Puun Cikertawana yang bernama Wirasuta menyatakan diri masuk Islam dan mengabdikan dirinya kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah mengetahui bahwa Wirasuta merupakan keturunan Prabu Pajajaran, Sultan Ageng kemudian mengangkatnya menjadi hulubalang dalam pasukan perang Kesultanan Banten dan dianugrahi gelar kebangsawanan raden adipati aria. Seiring dengan itu, nama Wirasuta kemudian diubah menjadi R. A. A. Akmaldiningrat. Ia meninggal dunia ketika sedang menumpas pemberontakan di Lampung dan oleh sultan dianugrahi gelar anumerta Pangeran Astapati.
Selain itu, terdapat juga kelompok masyarakat yang menempati golongan bangsawan rendah. Biasanya mereka menyandang gelar entol. Gelar kebangsawanan ini disandang oleh mereka yang menjadi keturunan Ajar Djo. Menurut cerita tradisi, Ajar Djo merupakan salah seorang hulubalang pasukan perang Prabu Pucuk Umun. Bersama-sama dengan saudara kandungnya yang bernama Ajar Djong, mereka menyatakan diri menganut agama Islam dan menjadi pengikut setia Maulana Hasanudin. Oleh karena pengabdiannya itu, Maulana Hasanudin memberikan gelar kepada mereka sehingga namanya berubah menjadi Ki Mas Djo dan Ki Mas Djong. Pada masa kekuasaan Maulana Hasanudin, Ki Mas Djo menjadi ulama dan umara sekaligus. Kelak di kemudian hari, keturunan Ki Mas Djo ini dapat diketahui dari gelar yang mereka pakai yakni entol dan menyebar ke seluruh wilayah Banten.
Pada abad ke-19, stratifikasi masyarakat Lebak terbagi atas dua lapisan, yaitu golongan elite dan golongan rakyat biasa. Golongan elite terdiri atas kaum ulama, pamong praja, dan kaum jawara. Bagi masyarakat Lebak, ulama dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama, pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melibihi kedudukan kaum ulama. Pamong praja merupakan aparat
pemegang kekuasaan formal yang kadang-kadang lebih membela kepentingan penguasa daripada rakyatnya. Mereka memiliki senjata untuk memaksa rakyatnya tunduk atas keinginannya. Hal yang sama diperlihatkan oleh kelompok jawara.
Oleh karena itu, rakyat menjadi patuh baik kepada pamong praja maupun jawara. Akan tetapi, kepatuhan itu tidaklah didasarkan pada keseganan terhadap kharismanya, melainkan karena adanya rasa takut di kalangan rakyat.Terdapat juga sekelompok masyarakat yang memandang lembaga kaolotan sebagai kelompok elite masyarakat Lebak. Mayoritas masyarakat Lebak sangat menghormati dan menjaga nama baik para olot, karena dipandang sebagai orang yang memiliki kelebihan. Saat ini, di Kabupaten Lebak terdapat beberapa kaolotan, di antaranya Bayah, Cisungsang, Cisitu, Cicarucub, dan Citorek.

C. Perekonomian
Tidak diketahui secara pasti mata pencaharian masyarakat Lebak pada masa Kesultanan Banten karena kurangnya sumber sejarah yang menginformasikan hal tersebut. Berladang sepertinya menjadi mata pencaharian yang dikenal umum oleh masyarakat Lebak, baik semasa kekuasaan Kerajaan Sunda maupun Kesultanan Banten. Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian diberitakan bahwa tiga dari lima orang titisan pancakusika (lima orang resi murid Siwa dalam mitologi Hindu) menjelma menjadi seorang pahuma (peladang), panggerek (pemburu), dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah tersebut jelas hanya dikenal dalam sistem ladang. Demikian juga dengan alat-alat yang digunakan oleh ketiganya sangat berkaitan dengan ladang. Kujang, patik, baliung, kored, dan sadap merupakan alat-alat untuk bekerja di ladang.
Carita Parahyangan memang menyebut satu kali istilah sawah, namun istilah tersebut
berkaitan dengan nama suatu daerah tempat dipusarakannya Ratu Dewata. Dengan demikian, besar kemungkinan masyarakat Lebak belum mengenal sawah sehingga bisa jadi petani-sawah belum menjadi sebuah mata pencaharian. Persawahan baru diperkenalkan oleh Maulana Yusuf dalam rangka meletakkan dasar-dasar pembangunan Banten.
Maulana Yusuf mendorong rakyatnya untuk membuka daerah-daerah baru bagi persawahan, tetapi tidak diketahui sejak kapan sistem persawahan ini dikenal oleh masyarakat Lebak.

Oleh: Miftahul Falah, S. S.**
* Dipresentasikan dalam “Lokakarya Penelitian dan Penulisan Sejarah Kabupaten Lebak” di AULA Pemkab Lebak, Rangkasbitung, 19 September 2006.
** Asisten Ahli di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran; Staf Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad; Sekretaris MSI Cabang Jawa Barat; Anggota Peneliti Sejarah Kabupaten Lebak.